Login

Lost your password?
Don't have an account? Sign Up

Kerentanan Palu yang Diabaikan

Penelitian tentang kerentanan Kota Palu, Sulawesi Tengah, terhadap gempa bumi dan tsunami telah digulirkan sejak puluhan tahun silam. Gempa besar pun sudah terjadi berulang. Namun, Palu tetap berkembang menjadi kota tanpa upaya mitigasi. Pengabaian berujung pada tragedi.

Ahli geologi kelahiran Sulawesi, JA Katili, sudah memperingatkan kerentanan gempa di Sulawesi Tengah, khususnya Palu, sejak 1970-an. Lulusan pertama doktor bidang geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan di Indonesia sejak 1970-an ini pula yang menamai sesar ini sebagai Palu Koro. Ini karena membelah Teluk Palu di sebelah utara hingga ke Koro di sekitar Teluk Tondano sepanjang sekitar 1.000 kilometer.

Katili mempertanyakan kenapa pemerintah waktu itu memilih Palu sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah pada tahun 1964. Namun, pengetahuannya tentang kerentanan bencana di Kota Palu tak bisa menghentikan keputusan pemerintah pusat untuk menjadikan Kota Palu sebagai kota administratif sejak 1978 (Kompas, 20 Juli 1976).

Palu dan Donggala juga telah lama diketahui sangat rentan gempa bumi dan tsunami. Analisis indeks kerentanan seismik Kota Palu yang dikeluarkan Stasiun Geofisika Kelas I Palu dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Palu mencantumkan, terdapat delapan kejadian gempa besar yang merusak terjadi di Palu dan sekitarnya dalam rentang waktu 1900-2014.

Ahli tsunami Gegar Prasetya dalam tulisan ilmiahnya, ”The Makassar Strait Tsunamigenic Region, Indonesia”, yang diterbitkan di jurnal Natural Hazard (2001), menyebutkan, sebanyak 14 tsunami terjadi di kawasan ini dari tahun 1820 hingga 1882. Sementara sejak 1927 hingga 2001 telah terjadi enam kali tsunami di kawasan ini.

Kerentanan Kota Palu ini juga sudah tercantum dalam Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia yang disusun Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Peta itu kemudian diluncurkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada September 2017.

Selain gempa bumi dan tsunami, kerentanan likuefaksi Palu juga sudah dipetakan. Laporan penelitian potensi likuefaksi Palu oleh Risna Widyaningrum dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2012 menyimpulkan, mayoritas wilayah kota itu memiliki potensi likuefaksi amat tinggi karena lemahnya daya dukung tanahnya, selain dekat jalur patahan.

Peta kerawanan zona likuefaksi itu kini sudah dimutakhirkan dengan Atlas Zona Kerentanan Likuifaksi Indonesia yang dirilis Badan Geologi pada September 2019. Hasilnya identik dengan peta potensi likuifaksi 2012. Palu dan sekitarnya termasuk zona sangat rawan likuefaksi.

Namun, penelitian itu tak diikuti upaya mitigasi sehingga bencana kembali berujung pada tragedi. Pada 28 September 2018, gempa yang diikuti tsunami dan likuefaksi menerjang Palu, Sigi, dan Donggala. Sebanyak 4.845 orang tewas dan hilang, 172.999 orang mengungsi, dan 110.214 unit rumah rusak. Dalam 20 tahun terakhir, bencana ini menjadi yang terburuk di Indonesia setelah tsunami Aceh pada 2004.

Setahun lebih berlalu, puing-puing sisa kedahsyatan bencana masih tersisa. Seperti tampak di permukiman padat penduduk di  Kompleks Perumnas Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Rabu (8/1/2020). Puing-puing rumah dan bangunan terhambur berantakan bersama tanah yang naik hingga sekitar 3 meter akibat likuefaksi.

Tamsil Sitopa (43), warga Balaroa yang selamat dari likuefaksi mengaku tidak pernah tahu wilayahnya adalah zona rawan bencana tinggi. ”Tidak pernah ada yang beri tahu soal ini. Tiba-tiba bencana datang begitu saja,” kata Tamsil.

Kembali terjadi

Bencana di Sulawesi Tengah September 2018 seharusnya menjadi pelajaran. Ironisnya, pengabaian akan potensi bahaya bencana kembali terjadi. Penyusunan peta zona ruang rawan bencana (ZRB) sebagai landasan revisi tata ruang wilayah Palu, Sigi, dan Donggala malah mengabaikan survei  kerawanan gempa BMKG.

Merespons hal itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati yang diwakili Deputi Geofisika BMKG Muhamad Sadly menolak tanda tangan. Sadly hanya menorehkan paraf dengan memberikan catatan pada peta ZRB tersebut: ”ZRB 1 menurut BMKG adalah ZRB 3”. Artinya, zona 1 atau zona pengembangan di peta ZRB adalah zona 3 atau zona terbatas dalam survei BMKG.

Pengabaian survei kerawanan gempa ini bertolak belakang dengan apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo mengenai kondisi Indonesia yang rawan bencana. Saat memberikan sambutan pada pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) BMKG tahun 2019, di Istana Negara, Jakarta, Selasa (23/7/2019), Presiden memerintahkan agar potensi bencana disampaikan apa adanya kepada kepala daerah dan publik.

”Tolong beritahukan apa adanya supaya setiap pembangunan juga mengacu, kalau daerah-daerah yang rawan bencana, ya, beritahukan,” ujar Presiden Jokowi seperti dikutip dalam siaran pers yang diunggah di situs Sekretariat Negara.

Selain itu, Presiden juga meminta BMKG menjalin hubungan yang baik dengan kepala daerah agar memudahkan koordinasi terkait kebencanaan. Hal ini agar pembangunan daerah bisa mengacu pada potensi bencana supaya mencegah terulangnya kembali jatuh korban jiwa karena bencana.

”Tegas-tegas harus disampaikan. Jangan sampai kita mengulang-ulang sebuah kesalahan yang di situ jelas garisnya lempengan tektonik, kok, dibangun perumahan besar-besaran,” kata Presiden Jokowi.

Keinginan Presiden senada dengan harapan Wali Kota Palu Hidayat. Menurut Hidayat, publik berhak tahu seberapa rawan tempat tinggalnya akan potensi bencana. ”Biarkan saja publik itu tahu soal potensi bencana di tempat tinggalnya. Pemerintah jangan menutupi,” kata Hidayat.

Risiko tinggi

Guru Besar Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) Masyhur Irsyam menjelaskan, daerah Palu dan sekitarnya sangat berisiko tinggi terjadi gempa bumi dan likuefaksi. Sebab, daerah itu memenuhi syarat-syarat terjadinya peristiwa itu.

Palu dan sekitarnya berada di sesar aktif Palu Koro. Aktivitas sesar itu bisa memicu gempa sewaktu-waktu.

Keadaan tanah Palu dan sekitarnya yang berjenis pasir yang tidak padat ditambah dengan tingginya muka air tanah membuat daerah itu berisiko tinggi likuefaksi. Ditambah dengan guncangan gempa yang rutin, daerah itu sangat rentan terjadi likuefaksi ekstrem seperti yang terjadi di Kelurahan Petobo dan Kelurahan Balaroa.

”Yang terjadi di beberapa daerah di Palu itu peristiwa likuefaksi yang ekstrem. Bisa jadi ini salah satu yang paling dahsyat di dunia,” ucap Masyhur.

Untuk merespons kondisi itu, Masyhur mengatakan, harus ada upaya pembenahan pengetatan struktur bangunan. Bangunan harus patuh dengan standar bangunan tahan gempa. Pemerintah daerah juga harus ketat mengawasi bangunan agar memenuhi kriteria itu.

Sementara mengenai zona merah likuefaksi dan gempa, Masyhur mengatakan, risiko gempa bisa dikurangi dengan melakukan rekayasa kondisi alam. Misalnya dengan memadatkan tanah dan menurunkan muka air tanah untuk mengurangi risiko likuefaksi.

Akan tetapi, lanjut Masyhur, hal itu memakan biaya tambahan. Apabila warga ataupun pemda tidak memiliki cukup biaya untuk melakukannya, hal termudah adalah merelokasi warga yang tinggal di daerah itu. Adapun daerah bekas likuefaksi dan gempa itu tidak boleh lagi menjadi hunian dan diubah fungsi menjadi ruang terbuka hijau ataupun museum bencana.

Oleh: BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/KELVIN HIANUSA/HARRY SUSILO
Editor HARRY SUSILO

Artikel ini dipubikasikan oleh kompas.id, pada 1 februari 2020, diterbitkan ulang disini untuk tujuan pengetahuan.

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*
*