
Mengenang 51 Tahun Tsunami Mapaga
HARI mulai senja, warna jingga kemerahan menghiasi langit. Sejumlah tenda berdiri berjejer tepat di depan api unggun yang dinyalakan untuk sekedar mengusir hawa dingin. Perlahan warna jingga diatas langit mulai menipis berganti gelap, namun tak membuat belasan anak muda beranjak.
Mereka semakin asyik membaca buku dibawah cahaya lampu darurat, sambil menyandarkan tubuh disudut tenda untuk sekedar menghilangkan lelah. Setelah melewati jarak ratusan kilometer dari arah utara Palu menuju Pesisir Pantai Dusun Mapaga, Desa Labean, Kecamatan Balaesang, Kabupaten Donggala tempat mereka kini berada.
Untuk menempuh tempat itu, mereka harus menyusuri jalan berbatu, melewati sungai kecil dan meniti jembatan kayu yang hanya bisa dilewati sepeda motor. Sejak Rabu 14 Agustus 2019, mereka sudah berada di tepi pantai yang tak jauh dari perumahan nelayan.
Puluhan orang tua dan anak-anak Dusun Mapaga telah berkumpul di samping tenda, mereka duduk bersama beberapa pemuda yang datang di tempat itu bersama pegiat literasi kebencanaan, Neni Muhidin, untuk mengikuti piknik sejarah yang diisi dengan cerita peristiwa gempabumi dan tsunami yang menerjang kampung mereka 51 tahun lalu tepatnya 15 Agustus 1968.
“Kami lagi piknik sejarah,” kata Mohammad Isnaini disela-sela kesibukannya bersama warga Dusun Mapaga.
Sementara itu, Djamil, Kepala Desa Labean yang sedang duduk tidak jauh dari Neni, menceritakan saat peristiwa tsunami melanda desanya, dirinya baru berusia 4 tahun. “Kejadian itu terjadi hari Kamis,” ujarnya.
“Besok juga Kamis,” kata Sarman menimpali.
Tiba-tiba angin berhembus begitu kencang, saking kencangnya dua dari empat tenda yang terpasang ikut terbang bersama hembusan angin. Suasana seketika hening, semuanya terdiam membisu.
Sesaat anginpun berlalu, Sarman lalu melanjutkan kisah ayahnya yang meninggal akibat dihantam tsunami Mapaga 1968. Ketika peristiwa itu, Sarman baru berusia empat bulan sehingga ia tak bisa menggambarkan seperti apa sosok ayahnya.
“Bapak saya adalah salah satu dari ratusan orang korban meninggal saat tsunami 1968,” ujarnya.
Saat gempa 28 September 2018 silam di desanya tidak terjadi lagi tsunami, namun warga menyaksikan gelombang aneh yang pecah di tengah teluk kecil, tidak jauh dari pesisir di dusun mereka tinggal.
“Saat gempabumi pertama kali terjadi pada pukul 3 sore, warga sudah mulai mengungsi,” kata Sarman.
Hal itu mereka lakukan mengingat peristiwa tsunami pernah terjadi di Mapaga tahun 1968. Ingatan itu menyelamatkan mereka dan seluruh warga, tidak hanya di Kecamatan Balaesang, tapi di sepanjang pesisir Pantai Barat Kabupaten Donggala. Sebab itulah tidak ada korban jiwa disana.
Pada Agustus 1968, tahun kelima setelah Provinsi Sulawesi Tengah berdiri, dua gempa dan tsunami meluluhlantakkan kawasan Pantai Barat, Kabupaten Donggala. Akibat bencana ini, Pulau Tuguan di lepas Pantai Sojol, hilang tersapu tsunami.
Surat kabar Nieuwsblad Van Het Noorden edisi 23 Agustus 1968, memuat berita gempa dan tsunami, yang meluluhlantakkan Kawasan Pantai Barat, Kabupaten Donggala tahun 1968. Didalam berita itu tertulis ada dua periode gempa bumi yang disertai tsunami, dalam selang waktu empat hari, menghajar kawasan tersebut, yakni tanggal 10 dan 15 Agustus.
Hal ini juga tercatat dalam dalam Newsletter, Vol. I No. 3 (5 September 1968), yang diterbitkan International Tsunami Information Center di Hawaii, di mana tercatat dua kali gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah pada 1968, sebagaimana dikutip dari Historia.Id.
Dari sumber yang sama, terungkap pada 10 Agustus 1968, terjadi gempa bermagnitudo 7,3 dengan pusat gempa di Laut Sulawesi. Surat kabar Nieuwsblad Van Het Noorden sendiri menjelaskan gelombang pasang (tsunami) menyebabkan 500 orang hilang, setelah gelombang pasang tersebut melanda pulau Tuguan (dekat Panggalasiang) di lepas Pantai Barat Laut Sulawesi. Gelombang ini adalah hasil dari gempa bumi kuat yang melanda daerah itu sejak 10 Agustus.
Masih dari surat kabar yang sama disebutkan, pada awal minggu, Departemen Sosial di Jakarta mengumumkan bahwa 200 orang telah tewas dalam gempa bumi pada 15 Agustus di daerah pesisir Donggala di Sulawesi Tengah.
Majalah Tempo pada 1978 memberitakan, tsunami yang menghantam Pantai Donggala, Teluk Mapaga, dan Pulau Tuguan setinggi 8-10 meter, menerjang pantai sampai sejauh 300 meter. Akibatnya 800 rumah hancur dan 200 orang meninggal dunia.
Gempa kedua terjadi pada 14 Agustus 1968 bermagnitudo 7,4, dengan pusat gempa di Laut Sulawesi. Kantor berita Antara melaporkan, gempa ini menghasilkan gelombang tsunami besar yang mengakibatkan Pulau Tuguan tenggelam sepenuhnya dan menghilang.
Petugas polisi yang dikirim dari mercusuar Mangalihat di Pulau Borneo tidak menemukan jejak Tuguan atau penduduknya. Gempa bumi juga mengakibatkan gunung berapi di Pulau Sangihe dan Talaud di ujung utara Pulau Sulawesi mulai bergemuruh dan mengeluarkan asap.
Tiga minggu kemudian, gempa kecil masih terus terjadi dan aktivitas gunung berapi di Talaud dan Sangihe mengancam 200.000 orang yang tinggal di pulau itu. Pihak berwenang pun meminta kapal untuk membantu evakuasi warga.
Sejarawan IAIN Palu, Mohammad Sairin menceritakan, DPRD-GR Sulawesi Tengah dalam sidangnya pada tahun tersebut, mengusulkan kepada pemerintah pusat, agar Tsunami Mapaga ditetapkan sebagai Bencana Nasional.
Mohammad Isnaeni, dalam tulisan Literasi Bencana (26) menyebutkan, Gubernur Sulteng saat itu, Moh Jasin, yang baru empat bulan dilantik, juga turun meninjau langsung lokasi tsunami di Mapaga.
Neni menjelaskan, peninjauan mantan Komandan Korem 132/Tdl ini ke lokasi bencana, terekam dalam sebuah foto arsip yang diolah kembali oleh Kukuh Ramadhan. Dalam foto ini, tampak Jasin sedang berada di atas perahu saat meninjau lokasi kejadian.
Sementara itu sejarawan Untad, Wilman D Lumangino mengatakan, saat meninjau rencana pembangunan dermaga dan jembatan di Labean dan Tambu, pada Oktober 1973, Gubernur Sulawesi Tengah saat itu, Albertus Maruli Tambunan, meninjau langsung lokasi bekas bencana tsunami di Dusun Mapaga, Desa Labean, Kecamatan Balaesang.
Tsunami 1968 di Sirenja kata dia, tsunami disebut “lembotalu” yang memiliki arti air laut bergelombang tiga. Tsunami menurut warga setempat, selalu datang dengan tiga gelombang.
Kosakata lembotalu ini kata dia, dipengaruhi oleh bahasa Mandar, Lembong Tallu. Sirenja banyak dipengaruhi Mandar. Dari tradisi lisan, orang Mandar lebih dulu datang daripada orang Bugis di Sirenja.
“Istilah Lembotalu ini, saya dengar dari nenekku. Nenekku tahu dari mamanya, orang kaili di Sirenja,” ujar Sairin.
Rahman Tedi, salah seorang warga Desa Lombonga, Kecamatan Balaesang menceritakan, pada saat bencana 1968 tersebut, salah seorang warga bernama La Malo, berhasil selamat walaupun saat itu dirinya dalam keadaan cacat dan tidak bisa berjalan.
Menurut Rahman, pada waktu air laut naik, semua keluarga La Malo lari menyelamatkan diri, tapi naas, usaha itu tidak membawa hasil. La Malo sendiri berusaha naik ke loteng rumahnya dan berhasil selamat.
“La Malo sekarang menetap di Desa Parisan Agung, Kecamatan Dampelas,” ujar Darwin, warga Desa Labean, Kecamatan Balaesang, yang kini menetap di Desa Parisan Agung, Kecamatan Dampelas.
Neni Muhidin menuliskan, seminggu pasca gempa bumi dan tsunami di Teluk Mapaga, 15 Agustus 1968, Munir Hasir (80), sesepuh di Loli Tasiburi, Donggala, berangkat kesana menjadi tukang bangunan, yang ikut mendirikan ulang beberapa bangunan sekolah. Dia lahir enam bulan setelah peristiwa gempa bumi dan tsunami di Teluk Tomini yang juga terjadi di Teluk Palu pada 20 Mei 1938.
Bencana gempa dan tsunami di Pantai Barat Donggala, 10 dan 15 Agustus 1968, menjadi memori kolektif masyarakat di kawasan tersebut. Memori kolektif ini melahirkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana.
Neni sendiri menyebut, gempabumi adalah sistem peringatan dini itu sendiri. Early warning system kata dia, harusnya menyatu dengan tubuh dan pikiran setiap kita, tentang apa yang harus dilakukan saat bumi berguncang dan tidak terpaku dalam panik yang berkepanjangan, apalagi harus menunggu laporan BMKG.
Piknik sejarah ini, kata Neni, sengaja dilakukan menjelang 51 tahun peringatan peristiwa tsunami Mapaga. Dirinya ingin mengenang peristiwa itu sembari berharap bertemu warga, untuk berdiskusi dan membicarakan hal-hal sederhana terkait mitigasi atau upaya mengurangi risiko bencana gempabumi dan tsunami.
Reporter : Jefriyanto