Login

Lost your password?
Don't have an account? Sign Up

75 Tahun Indonesia Merdeka, Korban Bencana di Sulteng Belum Sepenuhnya Merdeka

Indonesia genap berusia 75 Tahun pada 17 Agustus 2020 setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno pada 17 Agustus 1945.

Dengan dibacakannya proklamasi kemerdekaan itu, maka rakyat Indonesia akhirnya bisa merdeka dari penjajahan bangsa Belanda yang telah menjajah bangsa Indonesia lebih dari 300 tahun.

Namun hingga diusianya yang ke 75 tahun ini, masih banyak rakyat Indonesia yang belum benar – benar merasakan hakikat kemerdekaan sesungguhnya. Salah satunya adalah korban bencana 28 September 2018 di Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong (PADAGIMO) Sulawesi Tengah (Sulteng).

Suharto (52) lelaki paruh baya yang tinggal di Kelurahan Petobo, Kota Palu adalah salah satu dari ribuan korban bencana di Sulteng yang belum benar – benar merasakan hakikat kemerdekaan.

Suharso adalah kordinator penyintas di Kelurahan Petobo yang tinggal di Huntara Sai Study Group Indonesia (SSGI) Kelurahan Petobo.

Dia tinggal di Huntara bersama istri dan kedua anaknya yang sekarang mengenyam pendidikan SMA dan SMK. Sehari-hari Suharto beternak beberapa ekor kambing, disamping itu juga dia dipercayakan menjadi Ketua RW di Kelurahan Petobo.

Dalam momen hari kemerdekaan Republik Indonesia, Suharto yang ditemui di huntara yang sudah dua tahun dihuninya mengatakan, sampai saat ini belum ada kepastian kepada penyintas di Kelurahan Petobo untuk dibangunkan Hunian Tetap (Huntap).

Dia menyebut, mungkin karena pemerintah menganggap bahwa penyintas yang berada di Kelurahan Petobo akan di relokasi ke wilayah yang sudah ditetapkan, namun dari awal sudah disampaikan bahwa penyintas yang di petobo menentukan sikap tidak ingin direlokasi karena di petobo masih ada lahan yang begitu luas untuk dibangunkan huntap.

“Katanya sudah 75 tahun Indonesia merdeka, akan tetapi kami yang terdampak, merasa belum merdeka karena apa yang disampaikan pemerintah sampai hari ini belum terealisasi,”sebutnya.

Dengan tegas dia juga mengatakan, di hari kemerdekaan 17 Agustus 2020, sebagai pribadi, dirinya menganggap sudah merdeka apabila hak-hak sebagai penyintas telah dipenuhi oleh pemerintah.

“Sampai kapanpun kami tidak menganggap merdeka, kalau yang kami harapkan itu tidak diperhatikan pemerintah terutama huntap,” tegasnya.

Disamping keinginan dibangunkan huntap, penyintas Petobo masih menunggu tunjungan duka, sebab sekitar 1.000 jiwa lebih korban, baru separuh yang mendapatkan santunan duka sehingga menimbulkan pertanyaan bagaimana dengan yang lainnya.

Seketika Suharto meneteskan air mata karena tidak sanggup menahan kesedihannya, sebab salah satu anaknya menjadi korban tsunami dan gempa saat menjalankan tugas sebagai Pamongpraja pada waktu bencana terjadi.

“Kami mengharap di hari kemerdekaan ini, agar kiranya tunjungan duka disegerakan pemerintah dan harapan kami juga, baik pemerintah pusat maupun daerah secepatnya dapat membuatkan huntap,” harapnya.

Suharto mengungkapkan, penyintas yang dia koordinir dari awal ada 108 Kepala Keluarga (KK) dari jumlah KK tersebut, yang sudah mendapatkan dana stimulan telah memperbaiki rumahnya dan sekarang sudah pindah dari huntara petobo, sehingga penyintas yang tersisa sekarang sekitar 67 orang.

Sebagian besar penyintas yang ada di huntara petobo bekerja sebagai petani, namun pekerjaan itu terputus karena rusaknya saluran irigasi, sehingga yang dulunya bertani sekarang beralih menjadi guru bangunan dan tukang.

Dia juga menambahkan, berkaitan dengan masalah hak tanah untuk lokasi pembangunan huntap, dirinya mengharapkan pemerintah segera menyelesaikan permalasahan tersebut.

“Sebab negara harus hadir jangan hanya dibiarkan begitu saja,”pungkasnya.

Sementara itu, secara terpisah Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Sulteng Bergerak, Freddy Onora menerangkan, pihaknya sepakat apa yang disampaikan oleh penyintas bahwa mereka belum merdeka apabila hak-haknya belum terpenuhi.

“Karena itu merupakan perintah undang-undang pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, bahwa negara harus mematuhi konstitusi,”terangnya.

Dijelaskan, konstitusi mengatur hak warga negara dalam konteks korban bencana kalau itu saja tidak bisa ditangani jangan dulu negara bermimpi yang besar.

Bagi dia, kelalaian dan keteledoran dalam mengurusi bencana itu sama saja keteledoran dalam kemerdekaan.

Dia menyampaikan, pihaknya telah meminta pemerintah harus secepatnya melakukan proses pembangunan huntap di Kelurahan Petobo, namun penunjukkan lokasi harus melewati proses kajian yang matang.

“Tidak hanya alas hak atau hak terkait kepemilikan tanah, tapi juga perlu memperhatikan lokasi pembangunan huntap. Karena itu akan berpengaruh pada potensi bencana berikutnya, seperti potensi konflik dan masih banyak implikasi baik sosial, ekonomi maupun politik,”ujarnya.

Dia mencontohkan seperti huntap yang ada di Tondo terkena musibah banjir, sehingga dia menganggap seluruh wilayah huntap yang ditunjuk pemerintah semuanya bermasalah, baik hak kepemilikan tanah serta rentan terhadap bencana.

“Sulteng Bergerak akan terus mengawasi proses penanganan kebencanaan dari pemerintah khususnya wilayah terdampak seperti Palu Donggala Sigi dan Parigi Moutong,”tuturnya.

“Kalau sampai waktu batas yang ditentukan kami tidak melihat adanya progres kemungkinan besar kami akan mengajukan gugatan terhadap negara dalam hal ini Pemerintah Sulteng atas hak-hak kebencanaan dan kelalaian penanganan bencana,” tandasnya.

Sumber: sultengnews.com 

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*
*