Login

Lost your password?
Don't have an account? Sign Up

Bencana, Humanitarianisme dan Rekonstruksi di Era Kapitalisme Neoliberal

MENYUSUL terjadinya bencana Hurricane Katrina yang mengantam negara bagian Louisiana, AS pada 29 Agustus 2005, geographer Neil Smith menulis, “there is no such thing as a natural disaster”. Tak ada yang disebut bencana alam. “Dalam setiap fase dan aspek dari sebuah bencana (akar penyebab, kerentanan, kesiapsiagaan, konsekuensi dan tanggapan, dan rekonstruksi), kontur bencana dan perbedaan antara yang meninggal dan hidup kurang lebih merupakan sebuah kalkulus sosial”.[1] Bencana merupakan masalah sosial, bukan alam atau alamiah.

Gempabumi, tsunami, likuefaksi, longsor, banjir, badai adalah peristiwa-peristiwa alam. Kita kerap menyebutnya ‘bencana’ (disaster) atau ‘bencana alam’ (natural disaster). Padahal, peristiwa-peristiwa alam bukan bencana, tetapi mengandung bahaya (hazard). Setiap peristiwa alam berbahaya kalau mengancam. Bencana terjadi ketika bahaya menyebabkan kerusakan luas, fisik dan sosial.[2] Persitiwa-peristiwa alam bisa diikuti bencana atau bisa tidak.

Dalam hal peristiwa-peristiwa alam berbahaya, manusia bisa menghindar dari bencana. Likuefaksi tanah tidak menjadi bencana, kalau lokasi kejadian bebas dari kehidupan manusia dan infrastruktur fisik. Terhindar, karena manusia menimbang ketidakstabilan tanah dalam perencanaan ruang. Dalam rencana penggunaan lahan (land use planning), mereka tidak menjadikan areal berpotensi likeufaksi tinggi untuk permukiman dan infrastruktur. Mitigasi mencegah bencana.

II

ADA pendapat menonjol tentang bencana karena bahaya alam. Pertama, bencana tidak memilih korban. Siapapun yang tinggal di manapun dengan keadaan alam berbahaya berpotensi menjadi korban. Kaya/miskin, tua/muda, perempuan/lelaki, beragama/tidak beragama, dan suku apapun di negara maju/negara tekebelakang menghadapi ancaman sama. We are all in the same boat; Kedua, tingkat kerentanan (vulnerability) warga terhadap bahaya menentukan apakah mereka menjadi korban atau tidak. Kerentanan terutama berhubungan dengan kemampuan untuk “mengantisipasi, mengatasi, melawan, dan memulihkan diri dari dampak bahaya alam”.[3] Kerentanan terjadi karena ketidakmampuan.

Meminjam metafora fotografi, fokus kedua pandangan agak dangkal. Menyamaratakan identitas warga, pandangan pertama menganggap kelas bersifat netral. Pandangan kedua tidak mempertanyakan kerentanan warga menurut pembagian mereka berdasarkan kelas.

Pendekatan kelas memperluas fokus. Pendekatan ini bertolak dari pembelahan kelas bersandar hubungan eksploitasi. Diperlukan dua level analisa untuk menggambarkan pembelahan dalam masyarakat kapitalis. Pertama, penjelasan makro tentang kapitalisme global. Kapitalisme membelah dunia ke dalam kelompok negeri-negeri kaya/bekas penjajah/kapitalis maju (Utara) dan kelompok negeri-negeri miskin/bekas jajahan/kapitalis terbelakang (Selatan). Pembelahan tidak muncul secara alamiah, tetapi lahir dari kekhususan sejarah pembentukan negara dan masyarakat berbeda. Utara, melalui kolonialisme dan imperialisme, mengeruk surplus dari Selatan melalui investasi asing langsung berbasis eksploitasi buruh murah. Utara memberi bantuan (hibah dan pinjaman) bukan semata untuk mempromosikan pembangunan tetapi untuk mengeruk keuntungan dari Selatan. Di era kapitalisme-neoliberal, Utara mendorong privatisasi, liberalisasi dan deregulasi supaya surplus bisa dipompa berlipat ganda dari Selatan. Kekayaan global jadinya terkonsentrasi di Utara, menyisakan keterbelakangan di Selatan. Utara menghambat kemajuan Selatan karena hubungan dominasi-subordinasi.

Kerentanan Selatan terhadap bencana merupakan buah dari proses historis kapitalisme global tersebut. Menganggap Selatan rapuh secara kelembagaan – penegakan hukum, penggalian pendapatan, dan pelayanan publik – sebagai penyakit domestik, Utara mendikte bantuan pembangunan internasional (hibah dan pinjaman) sebagai jalan keluar. Ini melanggengkan ketergantungan, sehingga menghambat kemampuan Selatan menyelesaikan masalah mereka, termasuk soal kebencanaan. Selatan menjadi rentan karena Utara memburu profit dengan memperlakukan bencana sebagai “disaster-industrial complex”.[4] Jendelanya, (a) mitigasi prabencana mengharuskan pembangunan infrastruktur dan gedung yang tangguh dan sistem peringatan dini berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena padat modal, ini memerlukan pembiayaan komersial internasional; (b) benar, aksi humanitarian global menyajikan soup kitchen agar penderitaan penyintas berkurang. Tetapi, diktum “no free gifts”[5] mengendalikan agenda rekonstruksi pascabencana yang padat modal. Ini merupakan ruang akumulasi bagi modal transnasional; (c) sekarang, era finansialisasi yang terintegrasi vertikal ke kapital uang di Utara, resiko dan bencana masa depan bukan ancaman, tetapi sumber profit. Industri asuransi, perbankan, dan perumahan mengomodifikasi dan memburu untung dari resiko dan bencana via berbagai produk asuransi, fasilitas kredit dan garansi.

Kedua, penjelasan mikro tentang hubungan kelas antara kapitalis dan pekerja. Segelintir kapitalis mengeksploitasi keseluruhan pekerja, terdiri dari (a) pekerja aktif di sektor-sektor ekonomi modern dan formal dan (b) tenaga kerja cadangan (petani tradisional, pekerja sektor informal, buruh-tani, para penganggur, dan lumpenproletariat). Kendati tidak dieksploitasi langsung, tetapi rasio tenaga kerja cadangan terhadap pekerja aktif menentukan tingkat eksploitasi. Ketersediaan pasokan mereka menjadi kunci akumulasi, karena menekan upah pekerja aktif. Berbasis eksploitasi, kapitalisme menciptakan kekayaan melimpah, tetapi terkonsentrasi di tangan segelintir kapitalis di tengah lautan pekerja miskin, terlepas perbedaan tingkat kemelaratan mereka. Tetapi, kemiskinan bukan karena serba kekurangan, tetapi karena mengalami “eksklusi total dari kekayaan objektif.”[6] Kemelaratan karena pekerja menghasilkan kekayaan buat kapitalis, bukan untuk mereka.

Dengan konteks tersebut, keseluruhan pekerja lebih rentan menghadapi bencana. Tinggal di wilayah dengan bahaya alam, masalah-masalah perumahan menonjol muncul. Upah dan pendapatan rendah menghambat pekerja memiliki rumah yang layak dan resisten terhadap bencana. Juga, ekspansi industri perumahan ke lokasi tanah tidak stabil kerap menarget konsumen pekerja. Mereka menjadi terancam saat peristiwa-peristiwa alam – gempa bumi, likuefaksi, tsunami – menyerang. Di tengah-tengah finansialisasi resiko dan bencana, nyawa dan harta benda bisa melayang tanpa kompensasi, karena ketidakmampuan pekerja membayar premi asuransi.

Pascabencana, pekerja menghadapi masalah menumpuk. Kehilangan pekerjaan, sementara atau permanen, merupakan soal sulit. Krisis perumahan terjadi. Kerusakan rumah menciptakan lautan tunawisma berbulan-bulan. Banyak masalah sosial muncul di tempat-tempat pengungsian yang tidak nyaman. Seperti prabencana, pemilikan rumah layak dan tahan bencana tetap terhalang. Proyek rekonstruksi rumah pemerintah atau Ornop (oganisasi non-pemerintah) menjadi pilihan. Masalahnya, banyak KK (kepala keluarga) tetap tidak bisa memiliki rumah, karena rekonstruksi bukan berbasis jumlah KK tunawisma, tetapi jumlah kepemilikan rumah prabencana.

Di perdesaan, keadaan lebih buruk menimpa para petani yang sudah miskin prabencana. Kehilangan lahan seperti kiamat bagi petani subsisten yang nafasnya bergantung dari lahan pertanian. Kerusakan irigasi, lahan dan alat-alat produksi membuat semua kelas petani menderita. Petani-petani kecil yang terjerat institusi-institusi keuangan informal (tengkulak) tetap dipaksa mengembalikan utang plus bunga mencekik.

Intinya, kerentanan terhadap bencana tidak terjadi di ruang hampa. Asal-usulnya terkait hubungan-hubungan kelas yang rumit. Olehnya, dalam konteks kapitalisme, koreksi terhadap kerentanan harus merupakan bagian dari koreksi terhadap: (a) hubungan dominasi-subordinasi Utara-Selatan dan (b) hubungan-hubungan eksploitasi antar kapitalis dan pekerja.

III

Setiap krisis humanitarian segera menyusul aksi humanitarian. Terjadi pengerahan bantuan darurat untuk mereka yang mengalami krisis. Aksi humanitarian merupakan usaha cepat mengevakuasi korban dan mengakhiri penderitaan penyintas. Badan-badan PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa), lembaga donor, pemerintah dari berbagai negara, swasta, dan Ornop menyediakan kebutuhan-kebutuhan dasar.

Aksi humanitarian merupakan praktik humanitarianisme. Yakni, keyakinan memperbaiki kesejahteraan dan mengurangi penderitaan penduduk. ICRC (International Committee of the Red Cross) memperkenalkan 7 prinsip: kemanusiaan, imparsialitas, netralitas, independen, layanan sukarela, persatuan dan universalitas.[7] Ketujuh ideal menjamin humanitarianisme agar tetap nonpolitik dan netral.

Michael Walzer membongkar klaim idealis humanitarianisme. Menganggapnya sebagai “isme” tersendiri setelah keruntuhan komunisme, kejatuhan kredibilitas neoliberalisme, dan kemunduran kepercayaan publik terhadap berbagai ideologi politik besar, dia menyimpulkan “humanitarianisme adalah proyek politik”.[8] Dalam konteks bantuan dan hubungan internasional, kesimpulan Walzer mungkin benar. Asimetri kekuasaan global memungkinkan humanitarianisme dibajak oleh kepentingan politik dan ekonomi tertentu.

Supaya jelas, kita lebih baik memahami kaitan humanitarianisme dengan kapitalisme. Pertama, pembesaran maknanya yang berbeda dari, atau bertentangan dengan, kapitalisme menyesatkan. Kita tidak bisa menarik garis pemisah. Hanya karena mengklaim humanitarianisme terkait kesukarelaan dan nilai–nilaimoral dan kapitalisme terkait laba dan nilai–nilaimoneter. Dengan menggunakan konsep “the fetishism of humanitarian objects”,[9] kita bisa melihat hubungan penting. Objek-objek humanitarian adalah komoditas – makanan, obat-obatan, popok bayi, hygiene kits, tandon, tenda dll – yang diberikan kepada penyintas untuk mengurangi penderitaan mereka. Fetisis, karena saat membeli komoditas sebagai objek-objek humanitarian, kita tidak melihat lautan pekerja dan kondisi kerja mereka yang memproduksinya. Di tengah manfaat objek-objek humanitarian terhadap penyintas, kita tidak menyadari terjadi eksploitasi pekerja di baliknya. Dalam masyarakat kapitalis, objek-objek humanitarian untuk mengobati penderitaan penyintas berasal dari penderitaan kelaspekerja.

Kedua, industri humanitarian bergantung secara finansial kepada Utara. Dana humanitarian global mengalami pertumbuhan pesat, dari US$192,9 juta (1999) menjadi US$15,16 miliar (2018). Dari total nilai tahun lalu, AS (Amerika Serikat), Jerman, Inggris, dan UE (Uni Eropa) menyumbang 63,05%.[10] Bantuan-bantuan tersebut terutama disalurkan melalui lembaga-lembaga PBB (lihat Tabel 1). Contoh lain, ICRC. Kendati bukan merupakan organisasi antar pemerintah, mandat publiknya bersandar pada hukum humanitarian internasional. Pembiayaan utamanya bersumber dari negara-negara yang menandatangani Konvensi Geneva 1949, dengan Utara sebagai penyumbang kunci. Pada 2017, dari total CHF1,8 miliar yang berhasil dikumpul, 83,41% berasal dari berbagai pemerintahan nasional. AS adalah donatur terbesar, yang menyumbang 22,34%.[11]

Dengan struktur pembiayaan industri humanitarian tersebut, tidak bisa dihindari, Utara memengaruhi aksi humanitarian global. Menggunakan syarat-syarat atau standar ekonomi dan politik tertentu dalam penyaluran bantuan, Utara bisa mendisiplinkan perilaku organisasi-organisasi humanitarian. Paling utama, kepentingan kemanusiaan aksi humanitarian harus sejalan dengan kepentingan keamanan donatur.[12] Apalagi, humanitarianisme tidak semata mengurusi bantuan darurat. Kegiatan-kegiatannya juga berusaha mengubah keadaan-keadaan struktural yang membahayakan warga. Aksi humanitarian memasuki isu-isu pembangunan, promosi demokrasi, penegakan hukum, penghormatan hak-hak asasi manusia, kesetaraan gender, dsb. Aksi humanitarian memiliki konsekwensi dan bersifat politik. Utara menggunakan humanitarianisme sebagai kekuatan lunak untuk mengendalikan Selatan.

Utara juga kerap mengombinasikan penggunaan kekuatan lunak dengan cara-cara keras.Dalam “intervensi humanitarian”, negara imperialis menggunakan kekerasan militer untuk menghukum negara yang dianggap melanggar hak asasi manusia dan melawan pasar bebas. Meremehkan kedaulatan negara-negara lemah, pendudukan militer berdalih kebebasan politik dan ekonomi lantas menghasilkan penderitaan pahit warga di negeri-negeri yang diduduki. Celakanya, aksi humanitarian lantas diperlukan di tengah intervensi humanitarian. Humanitarianisme dan imperialisme seperti dua sisi dari sekeping mata uang.

Tabel 1: Dana Humanitarian Internasional 2018 (dalam $ juta)

Sumber: FTS–UNOCHA[13]

IV

Kita sedang di era kapitalisme global bersandar kelenturan akumulasi, neoliberalisme. Kredo neoliberalisme, masyarakat berfungsi lebih baik di bawah logika pasar dibanding logika apapun, terutama sentralisme negara. Neoliberalisme tidak antinegara, tetapi anti fungsi-fungsi sosial negara. Faham ini memaksa negara agar tidak mengurusi hak-hak dasar warga seperti pendidikan, kesehatan, perumahan. Biarkan saja institusi-institusi privat/nonnegara mengurusinya. Neoliberalisme menganjurkan privatisasi – baik profit maupun tanpa motif profit – tanggung jawab sosial negara. Jika tidak diprivatisasi secara total, negara harus membangun kemitraan dengan sektor swasta (public-private partnership, PPP). Dengan demikian, administrasi pemerintahan menjadi efisien. Neoliberalisme membuat “batas antara negara dan korporasi menjadi semakin keropos”[14] Intinya, negara meninggalkan perannya sebagai pelayan kebutuhan publik dan beralih menjadi budak pasar. Tugas negara mengatur secara politik kepentingan modal.

Humanitarianisme sedang populer di masa neoliberalisme. Pertama, sebagai motor aksi humanitarian global (lihat Tabel 1), badan-badan multilateral di bawah PBB semakin berorientasi pasar. Ini karena sejak akhir abad 20, badan-badan tersebut mengalami transformasi secara politik. Lembaga-lembaga publik itu semakin berhubungan erat dengan modal transnasional. Salah satu mekanismenya adalah kemitraan. Demi akumulasi global, PBB dan berbagai sayapnya telah menandatangani ratusan kesepakatan dengan perusahaan-perusahaan transnasional. Kesepakatan-kesepakatan tersebut menyangkut kerjasama proyek dan dukungan PBB untuk berbagai inisiatif korporasi-korporasi raksasa.[15]

Ekspansi real estate ke daerah rawan bencana. Foto: Anto Sangadji

Di industri kemanusiaan, untuk memadukan kepentingan bisnis dengan aksi humanitarian, maka kemitraan diterjemahkan menjadi “business-humanitarian partnership”(BHP). Di WEF (World Economic Forum) 2008, badan-badan PBB dan perusahaan-perusahaan yang menjadi anggota Forum mengumumkan sebuah inisiatif tentang prinsip-prinsip BHP.[16] Dalam praktik, setelah tsunami Aceh, UNDP (United Nations Development Programme) mengembangkan kemitraan sehingga memperoleh dukungan keuangan, barang, dan konsultasi pro bono dari swasta.[17] ICRC sendiri sudah memiliki resolusi tentang kemitraan. Apalagi, dana swasta sejak lama mengalir ke ICRC. Pada 2017, nilainya mencapai CHF $48,3 juta.[18]

Sebuah studi menunjukkan kegunaan BHP bagi kedua belah fihak. Organisasi-organisasi humanitarian memperoleh pembiayaan dan logistik dari swasta. Kemitraan juga bisa menaikkan pengaruh politik mereka, karena dapat menjadi kendaraan untuk memanfaatkan pengaruh para pemimpin bisnis demi tujuan organisasi-organisasi humanitarian. Swasta juga menerima manfaat. Bukan sekadar perbaikan citra, tetapi paling penting adalah peluang pasar. Salah satu contoh, kemitraan antara Hewlett-Packard dan IOM (International Organization for Migration). Hewlett-Packard menyediakan investasi pro bono untuk mengembangkan produk teknologi informasi dan komunikasi demi kebutuhan tanggap darurat IOM. IOM telah menempatkan produk ini di beberapa lokasi untuk meningkatkan komunikasi dan koordinasi kemanusiaan. Tetapi, sekarang Hewlett-Packard menjual produk tersebut ke konsumen lebih luas. [19]

Kedua, privatisasi pelayanan publik meningkat selama krisis humanitarian. Ornop merupakan contoh, ketika mengambil alih sebagian fungsi-fungsi sosial pemerintah. Dengan menyediakan pelayanan dasar sebagai pemberian cuma-cuma, Ornop mendepolitisasi hak-hak penyintas untuk memperolehnya dari pemerintah. Ornop menjadi contoh paling nyata cara kerja neoliberalisme. Justifikasinya, keyakinan antinegara dan kesukarelaan yang mengagungkan keterlibatan privat mengurusi masalah-masalah sosial. Sektor privat dipercayai memiliki kemampuan sumberdaya menyelesaikan masalah-masalah sosial.[20] Dengan mengambilalih tanggung jawab sosial pemerintah, Ornop melemahkan negara dan membuka jalan bagi pasar. Karenanya, Harvey menuding Ornop sebagai “kuda troya bagi neoliberalisme global”.[21]

Ornop sendiri bergantung kepada sumber-sumber keuangan neoliberal. Donasi korporasi-korporasi raksasa via berbagai organisasi filantropi merupakan sumber utama. Sebuah studi memperkirakan total nilai bantuan untuk krisis kemanusiaan dari sektor privat (perusahaan, yayasan, dan individu) yang disalurkan melalui Ornop secara global mencapai US$20,6 miliar selama periode 2006-2011. Sumbangan tahunan meningkat dari US$1,7 miliar (2006) menjadi US$5,7 miliar (2011).[22] Sumber kedua berasal dari negara-negara Utara yang mengeruknya dari pajak. Uang mengalir ke Ornop melalui badan-badan pembangunan internasional Utara dan badan-badan multilateral. Pada 2016, Ornop menerima US$3,4 miliar dari lembaga-lembaga publik (pemerintah nasional dan organisasi-organisasi antarpemerintah) untuk aksi kemanusiaan. Angka ini meningkat dari US$1,1 miliar pada 2006. Selama periode 2006-2011, total nilainya mencapai US$15,5 miliar.[23]

Ketiga, neoliberalisme menunjukkan otot sesungguhnya melalui rekonstruksi pascabencana. Bersamaan aksi humanitarian, lembaga-lembaga pasar seperti WB (World Bank), ADB (Asian Development Bank), JICA (Japan International Cooperation Agency) melakukan penilaian terhadap tingkat kerusakan, kebutuhan pemulihan dan rekonstruksi, serta pembiayaan. Aktivitas ini menjadi semacam transisi dari bantuan humanitarian ke investasi oleh modal transnasional. Melalui bantuan internasional, lembaga-lembaga itu mendanai rekonstruksi. Tetapi, mereka mengutamakan strategi pasar melalui proyek-proyek infrastruktur yang menguntungkan modal transnasional, bukan pelayanan sosial pemerintah. Dalam keadaan bencanapun, bantuan internasional tetap “menjadi katalis untuk menghancurkan program-program sosial pemerintah.”[24] Jadi, aksi humanitarian hanya memperlancar ekspansi modal transnasional. Topeng ideologinya humanitarianisme.[25]

Jurnalis-cum-aktivis, Naomi Klein mengonseptualisasi kepentingan modal internasional dalam rekonstruksi pascabencana sebagai bagian dari “disaster capitalism”. Artinya, “… serangan-serangan terorganisir terhadap ruang publik di tengah peristiwa-peristiwa katastrop, yang dikombinasikan dengan penanganan bencana sebagai peluang-peluang pasar.” Rekonstruksi pascabencana merupakan peluang mendorong kebijakan-kebijakan ekonomi kapitalis neoliberal.[26] Edwards Jr bilang kapitalisme bencana sebagai “strategi-strategi yang digerakkan oleh modal untuk mempercepat pemulihan dan restorasi”.[27] Schuller sebut kapitalisme bencana sebagai penggunaan instrumen institusi-institusi pemerintahan nasional dan transnasional dalam setiap katastrop – yang disebut “alam” dan bencana pascakonflik – guna memajukan dan memperkuat kepentingan-kepentingan kapitalis neoliberal.[28]

V

Di Indonesia, kebijakan-kebijakan neoliberal telah diperkenalkan secara gradual sejak Orde Baru sebagai jawaban terhadap krisis berulang kapitalisme. Neoliberalisasi kebijakan bencana hanya salah satu fragmen. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana memperkenalkan peran sektor nonnegara dalam urusan kebencanaan. Di UU ini kosakata-kosakata neoliberal seperti kemitraan, peran swasta, dan bantuan internasional muncul dengan jelas.Kita bisa menilai implementasinya dari pengalaman bencana tertentu.

Petang, 28 September 2018, bencana melanda Sulawesi Tengah (Sulteng), sesaat setelah terjadi gempabumi M7,5 yang memicu likuefaksi tanah masif dan tsunami. Ini merupakan salah satu peristiwa alam paling merusak di Indonesia. Ribuan jiwa dan harta benda lenyap seketika. Birokrasi pemerintah daerah lumpuh. Mengalami disorientasi karena panik dan ketidakpastian, warga mendatangi toko-toko dan gudang-gudang dan membawa pergi bahan-bahan kebutuhan pokok. Solidaritas spontan antarwarga datang dari berbagai penjuru nusantara dan dunia. Terlepas dari karut-marut kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan bencana,[29] pemerintah nasional bekerja cepat memulihkan jaringan listrik, komunikasi dan transportasi, dan memimpin evakuasi korban.

Di luar itu, neoliberalisasi menguat. Pertama, di tengah-tengah kelumpuhan pemerintah daerah, privatisasi pelayanan publik meluas selama masa darurat. Organisasi-organisasi humanitarian semipemerintah dan nonpemerintah internasional mengendalikan kegiatan pelayanan kebutuhan dasar penyintas, bersumber bantuan-bantuan internasional (lihat Tabel 2). Menggunakan “pendekatan klaster”, berbagai organisasi menyediakan aneka objek humanitarian selama masa darurat. Menggunakan seni governance (kepemerintahan)humanitarian global, mereka mengooptasi pemerintah daerah yang rapuh karena bencana. Privatisasi pelayanan publik lantas menjadi pintu masuk memengaruhi kebijakan pemerintah dalam rangka rekonstruksi.

Tabel 2. Bantuan Internasional Paskabencana Sulteng (dalam 000)

Sumber: Diolah dari berbagai sumber[30]

Kedua, rekonstruksi pascabencana menjadi domain modal transnasional. Prosesnya, pemerintah disubordinasikan ke dalam kepentingan modal transnasional melalui rencana rekonstruksi. Mengabaikan “model perencanaan demokratis” sebagai proses politik dengan partisipasi langsung warga terdampak perencanaan,[31] UNDP mengendalikan sumber daya dan kekuasaan pemerintah daerah untuk menghasilkan dokumen rencana “rehabilitasi dan rekonstruksi”. Berlangsung di luar kelembagaan perencanaan daerah, UNDP memfasilitasi proses perencanaan yang teknokratis, formalisasi konsultasi publik, kering partisipasi genuine penyintas, dan tanpa perdebatan politik. Inilah cara lunak neoliberal memangkas peran negara dan mendorong aktor nonnegara terlibat dalam rekonstruksi.

Sentral dari keseluruhan proses adalah Jepang. Negeri itu menggunakan bantuan humanitarian sebagai strategi bisnis dan investasi. Berawal dari pengiriman bantuan darurat (termasuk personil pasukan beladiri), kemudian pengiriman misi survei kerusakan dan kebutuhan, Jepang lantas membantu rekonstruksi pascabencana. JICA telah merumuskan garis besar proyek rehabilitasi, pemulihan dan pengembangan wilayah yang tangguh. JICA terlibat merevisi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) berbasis penilaian resiko bencana.[32] Kompetensi teknis menjadi alasan keterlibatannya. Tetapi, lebih baik melihatnya sebagai strategi neoliberal mengooptasi perencanaan ruang agar propasar. Keterlibatan JICA untuk memastikan proses perencanaan mengikuti kaidah pasar. Dengan demikian, proyek-proyek rekonstruksi skala besar pascabencana bisa menjadi prioritas.

Menganggap perencanaan bersifat netral dan bebas kepentingan kelas,[33] JICA, bersama WB dan ADB, sebenarnya sedang mendorong kepentingan modal transnasional. Sebuah dokumen usulan yang beredar di sejumlah pejabat daerah menunjukkan proyek-proyek rekonstruksi yang akan dibiayai ketiga lembaga. Dengan nilai pinjaman lebih dari IDR3 triliun, selain hibah, JICA mengongkosi rehabilitasi jalan, jembatan, irigasi, rumah sakit, dan pembangunan tanggul tsunami. WB mendanai rehabilitasi jalan, jaringan air, sanitasi, gedung, dengan total nilai sekitar IDR1,5 triliun. ADB membiayai rehabilitasi jaringan air, gedung, pengamanan pantai Palu, dan irigasi Gumbasa, dengan total nilai sekitar IDR2,88triliun. Pascabencana Sulteng, WB dan ADB secara resmi menyediakan pinjaman rekonstruksi masing-masing USD1 miliar dan USD500 juta (lihat Tabel 2).

Kapitalisme bencana hanya satu fragmen dari keseluruhan kapitalisme. Khusus Jepang, rekonstruksi pascabencana menggambarkan kepentingan spesifik dari kepentingan keseluruhan modal transnasionalnya di Sulteng. Di Kabupaten Banggai, Modal Jepang sedang mengendalikan proyek raksasa LNG (liquefied natural gas). PT DSLNG (Dongi-Sinoro LNG) menghasilkan LNG dan mengekspornya ke Chubu Electric dan Kyushu Electric di Jepang dan Kogas di Korea Selatan berdasarkan kontrak jangka panjang. Saham PT DSLNG dikuasaiSulawesi LNG Development Ltd, (55,9%), Pertamina Hulu Energy (29%) dan PT Medco LNG Indonesia (11,1%). Mitsubishi Corporation mengontrol 75% saham Sulawesi LNG Development dan Kogas(Korea Gas Corporation) memiliki 25%.[34] Sebuah konsorsium institusi-institusi keuangan raksasa Jepang dan Korea Selatan membiayai pembangunan pabrik LNG. JBIC (Japan Bank for International Cooperation) meminjamkan US$763 juta. Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd., Mizuho Bank, Ltd., Sumitomo Mitsui Banking Corporation dan KEXIM(Korea Exim Bank) membiayai sisanya. NEXI (Nippon Export and Investment Insurance) mengasuransikan dan KEXIM menggaransi proyek tersebut.[35] Wajah imperialisme Jepang di Sulteng, (a) penyatuan kapital uang dan kapital industri melalui (b) ekspor modal.

Lihat ke belakang, Jepang memiliki jejak imperialisme vulgar di Sulteng. Ketika menjajah Indonesia pada awal tahun 1940an, modal Jepang menambang mika untuk menunjang industri perangnya persis sekitar ujung bagian Selatan sesar Palu-Koro, di Pipikoro Kulawi, Kabupaten Sigi. Serdadu Jepang memaksa para petani subsisten, termasuk perempuan dan anak-anak, untuk menambang. Sebagian di antaranya dipindahkan secara paksa dari kampung-kampung asli mereka. Banyak pekerja meninggal ditimpa reruntuhan batu dan ledakan granat di areal tambang.[36] Seorang peneliti asal Pipikoro bilang perempuan-perempuan muda didatangkan dari Kalawara – sebuah koloni Jawa, dekat Palu – untuk melayani dan menghibur para serdadu.[37] Sejarah Bala Keselamatan di Sulteng memang merekam permintaan Jepang menyediakan wanita penghibur.[38]

Intinya, imperialisme Jepang sekarang ibarat, old wine in a new bottle. Old wine-nya, akumulasi demi akumulasi; a new bottle-nya, tanpa kekerasan negara kolonial.***

Arianto Sangaji adalah nggota individu Pasigala Centre. Disclaimer: Tulisan ini tidak mewakili Pasigala Centre

—————–

[1] Neil Smith, 2006, “There’s No Such Thing as a Natural Disaster” Progressive Geographies http://understandingkatrina.ssrc.org/Smith Akses 28 Januari 2019.

[2] Lihat Jeff Schuhrke, 2013, “Toward Radical Risk Reduction and Revolutionary Adaptation: Climate Disasters, Agriculture, and Capitalist Modernity”, Human Geography 6(3): 75-88.

[3] Ben Wisner, et al., 2003, At Risk: natural hazards, people’s vulnerability and disasters (Second edition). New York: Routledge.

[4] Albert S. Fu, 2016, “Connecting urban and environmental catastrophe: linking natural disaster, the built environment, and capitalism”, Environmental Sociology, 2(4):365-374.

[5] Mary Douglas, 2002, “Foreword: No free gifts” in Marcel Mauss, The Gift: The form and reason for exchange in archaic societies, London and New York: Routledge.

[6] Karl Marx, 1973[1857-8], Grundrisse, London & New York: Penguin Books, pp.295-6.

[7] Lihat ICRC, 2005, “Resolution 6: Strategy for the International Red Cross and Red Crescent Movement,” International Review of the Red Cross, 87(860): 769-91, pp., 71-2.

[8] Michael Walzer, 2011, “On Humanitarianism: Is Helping Others Charity, or Duty, or Both?” Foreign Affairs, 90(4): 69-80.

[9] Lihat Tom Scott-Smith, 2013, “The fetishism of humanitarian objects and the management of malnutrition in emergencies,” Third World Quarterly, 34(5):913-928.

[10] Lihat FTS-UNOCHA, 2018, “Tracking Humanitarian Aid Flows”, https://fts.unocha.org/appeals/overview/2018 dan https://fts.unocha.org/appeals/overview/1999.

[11] ICRC, 2018, Annual Report 2017 Volume I. Geneva: ICRC, pp, 546-7.

[12] Mark Duffield, Joana Macrae and Devon Curtis, 2001, “Editorial: Politics and humanitarian aid”. Disasters, 25(4): 269-74, p, 270.

[13] FTS-UNOCHA, 2018, “Tracking Humanitarian Aid Flows”, https://fts.unocha.org/appeals/overview/2018.

[14] Lihat David Harvey, 2005, A Brief History of Neoliberalism, Oxford: Oxford University Press, pp,77-8.

[15] Lihat William I. Robinson, 2004, A Theory of Global Capitalism: Production, Class, and State in a Transnational World, Baltimore and London: John Hopikns University Press, pp., 115-6.

[16] WEF and UN-OCHA, 2008, “World Economic Forum (WEF) – OCHA Guiding Principles for Public-Private Collaboration in Humanitarian Action”, 22 January, https://interagencystandingcommittee.org/other/documents-public/world-economic-forum-wef-ocha-guiding-principles-public-private-collaboration.

[17] UNDP, 2005, Aceh Emergency Response and Transitional Recovery programme, Jakarta: UNDP, p,5.

[18] Lihat ICRC, 2005, “Resolution 10: Movement Policy for Corporate Sector Partnership,” International Review of thr Red Cross, 87(860): 814-23; ICRC, Annual Report 2017, pp, 546-7.

[19] UN-OCHA, 2017, The Business Case: A study of private sector engagement in humanitarian action, New York: UN-OCHA.

[20] Lihat James Petras, 1997, “Imperialism and NGOs in Latin America”, Monthly Review, 49(7): 10-27.

[21] Lihat Harvey, p, 177.

[22] Velina Stoianova, 2013, Private Funding for Humanitarian Assistance, Bristol: Global Humanitarian Assistance, p, 7.

[23] Ibid

[24] James Petras and Henry Veltmeyer, 2002, “Age of Reverse Aid: Neo-liberalism as Catalyst of Regression”, Development and Change 33(2): 281–293, p, 292.

[25] Antonio Donini, 2008, “Through a Glass, Darkly: Humanitarianism and empire” in Nandini Gunewardena and Mark Schuller (eds.), Capitalizing Catastrophe: Neoliberal Strategy in Disaster Reconstruction, Plymouth: AltaMira Press, pp, 37-8.

[26] Naomi Klein, 2007, The Shock Doctrine: the rise of disaster capitalism, New York: Metropolitan Books p, 6.

[27] Ransford F. Edwards Jr, 2016, “Disaster Capitalism: Empirical Ecidence from Latin America and the Caribean”, A Ph. D Dissertation at Florida International University, p, 1.

[28] Mark Schuller, 2008, “Deconstruction Disaster after Disaster: Conceptualizing disaster capitalism,” in Capitalizing Catastrophe: Neoliberal Strategy in Disaster Reconstruction, pp, 17-27.

[29] Lihat Andika, 2019, “Menghadirkan Negara dalam Bencana,” Kertas Kebijakan, Palu: Pasigala Centre & Sikola Mombine.

[30] UNDP, 2018, “Germany extends € 25 million assistance to UNDP Indonesia to rebuild quake-hit Central Sulawesi and NTB”, 11 December http://www.id.undp.org/content/indonesia/en/home/presscenter/pressreleases/2018/9/germany-extends–25-million-assistance-to-undp-indonesia-to-rebu.html; WB, 2018, “World Bank Announces $1bn Assistance for Indonesia Natural Disaster Recovery and Preparedness”, Press Release, 14 October, https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2018/10/14/world-bank-announces-1bn-assistance-for-indonesia-natural-disaster-recovery-and-preparedness; ADB, 2018, Proposed Loan Republic of Indonesia: Emergency Assistance for Recovery and Rehabilitation from Recent Disasters (Project Number: 52324-001); ADB, 2018, “ADB Approves Initial Grant for Sulawesi Earthquake and Tsunami Affected Areas”. 9 October, https://www.adb.org/news/adb-approves-initial-grant-sulawesi-earthquake-and-tsunami-affected-areas; WB, 2018, “World Bank Announces $1bn Assistance for Indonesia Natural Disaster Recovery and Preparedness”, Press Release, 14 October, https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2018/10/14/world-bank-announces-1bn-assistance-for-indonesia-natural-disaster-recovery-and-preparedness; JapanGov, 2018, “Fact Sheet on the Japan’s cooperation for Resilient Indonesia” https://www.id.emb-japan.go.jp/news18_36_Fact%20Sheet%20on%20the%20Japans%20Cooperation%20for%20Resilient%20Indonesia.pdf; the Australian, 2018, “Australia to provide $5m humanitarian package for Sulawesi earthquake disaster”, 3 October https://www.theaustralian.com.au/national-affairs/foreign-affairs/australia-to-provide-5m-humanitarian-package-for-sulawesi-earthquake-disaster/news-story/6bde4e250745d1f2084aaedb2edd24ad; UE, 2018, “Sulawesi Earthquake and Tsunami”, Fact Sheet, 22 November; National Post, 2018, “Canada deploying military plane to help disaster-relief efforts in Indonesia” October 11, https://nationalpost.com/pmn/news-pmn/canada-news-pmn/canada-deploying-military-plane-to-help-disaster-relief-efforts-in-indonesia.

[31] Lihat Pat Devine, 1988, Democracy and Economic Planning: the political economy of a self-governing society, Boulder: Westview Press.

[32] JICA, 2019, “Project for Development of Regional Disaster Risk Resilience Plan in Central Sulawes”, 20 March, https://www.jica.go.jp/project/english/indonesia/020/outline/index.html.

[33] Pendapat sebaliknya lihat Ståle Holgersen, 2015, “Spatial planning as condensation of social relations: A dialectical approach”, Planning Theory 14(1): 5-22.

[34] PT DSLNG, N.d., Company Profile: 10 Years of Creating opportunities; PT DSLNG, N.d., “LNG buyers”, http://www.donggisenorolng.co.id//dslng-project/LNG-buyers/eng.

[35] JBIC, 2014, “Project Financing for Donggi-Senoro LNG Project in Indonesia”, 14 November, https://www.jbic.go.jp/en/information/press/press-2014/1114-31230.html.

[36] Lihat Lorraine V. Aragon, 1996, ““Japanese Time” and the Mica Mine: Occupation Experiences in the Central Sulawesi Highlands,” Journal of Southeast Asian Studies, 27(1)49-63.

[37] Fery Rangi, 2019, (komunikasi pribadi, 18 Maret).

[38] Melattie M. Brouwer, 1994, Sejarah Gereja Bala Keselamatan di Indonesia Jilid 1, Bandung: Kantor Pusat Teritorial Gereja Bala Keselamatan Indonesia, pp, 220-1

Sumber : Indoprogress.com, edisi 1 April 2019

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*
*