Login

Lost your password?
Don't have an account? Sign Up

Cerita Pilu Korban Tsunami di Huntara Belakang Terminal Induk Mamboro

Hemsia, 52 tahun, korban tsunami di Kelurahan Mamboro yang beberapa hari lalu sempat viral karena huntara miliknya disegel pihak pekerja menceritakan penderitaan yang mereka alami selama tiga bulan tinggal di huntara di belakang terminal Induk Mamboro.

Ia, mengungkapkan bahwa selama mereka tinggal di huntara tak sekali pun bantuan kebutuhan dasar seperti beras datang dari pemerintah.

“Hanya relawan yang pernah datang memberikan bantuan di sini. Itu pun hanya sekali dan tidak semua dapat pembagian termasuk tetangga saya yang di depan ini tidak dapat bagian.” Katanya

Namun, menurut Hemsia, dirinya tidak menyesalkan pembagian logistik yang dilakukan oleh relawan tersebut tempo hari. Sebab katanya, relawan juga mengakui keterbatasan mereka untuk memberikan kebutuhan kepada semua pengungsi di huntara yang ada di belekang terminal Induk Mamboro.

Sejak itu, tak ada satu pun relawan atau pemerintah yang datang memberikan bantuan.

“Saya kadang meneteskan air mata ketika melihat cucu-cucu saya dan anak-anak di huntara ini kelaparan dan makan seadanya.” Uangkap Hemsia

Hemsia, tidak tahu harus berbuat apa agar cucu-cucunya bisa makan seperti dulu sebelum terjadi gempa dan tsunami.

Ia, hanya bisa pasrah dengan keadaan mereka saat ini yang serba sulit. Apalagi dirinya tak lagi mampu bekerja karena telah lanjut usia.

Selama ini, Hemsia dapat bertahan hidup dari hasil jualan kue takjil suaminya di samping lampu merah Mamboro. Bantuan yang pernah ia terima dari saudaranya, ia pakai untuk modal membuat kue untuk di jual.

“Saya membuat kue. Suami saya yang jual. Hasil jualan suami saya kadang dapat Rp50 ribu per hari. Kalau pembelinya ramai, biasanya suami saya dapat Rp100. Ya kalau tidak, ya paling besar ya Rp50 ribu.” Cerita Hemsia

Hasil jualan itu menurutnya jauh dari kebutuhan mereka sehari-hari. Apalagi, ia juga harus menghidupi tiga orang cucunya. Belum lagi kebutuhan seperti pulsa listrik, beli air minim, beli gas dan jajanan cucunya yang sekolah.

Dulu waktu Hemsia pertama pindah ke huntara, Ia, perna berharap dapat bantuan dari pemerintah. Tetapi ternyata itu tidak terjadi dan justru nasipnya makin merana, karena jarak lokasi huntara dengan tempat suaminya berjualan kue cukup jauh. Sehingga, ia tak dapat membantu suaminya dan hanya bisa berdiam di huntara setiap hari.

“Saya heran, dulu kami disuruh pindah katanya mau dapat bantuan. Kalau tidak pindah, nama kami akan digantikan orang lain, tapi sekarang kami sudah mengisi huntara, tapi bantuan tidak juga datang-datang.” Ungkapnya

Harapan Hemsia ternyata sirna. Selama mereka mengungsi di huntara, tak sekali pun bantuan pemerintah datang, bahkan berkunjung saja tidak pernah.

Hal yang sama juga dialami ibu Niaramadani, 28 tahun. Ia, bersama suaminya sudah dua bulan lebih menempati huntara di belakang terminal Induk Mamboro.

Untuk dapat bertahan hidup, suaminya terpaksa bekerja serabutan di mobil pengangkut barang.

“Suami saya dapat uang dari pekerjaan bongkar muat barang. Itu pun, kadang suami saya hanya dapat Rp500 ripu per minggu, kadang juga kecil dari itu.” Uangkap Nia, panggilan akrapnya

Kata Nia, kalau berharap bantuan dari pemerintah, mungkin mereka akan mati kelaparan. Itulah sebabnya, mau tidak mau suaminya harus keluar mencari pekerjaan di luar.

“Kami ini punya anak, tahun depan dia sudah mau masuk sekolah dasar. Jadi, suami saya harus berusaha dapat pekerjaan, meski itu tak mudah.” Katanya

Nia, juga menuturkan bahwa selama ini mereka hanya menggunakan satu unit kompor gas dipakai secara bergantian di empat bilik huntara. Begitu pula gayung kamar mandi, para penyintas hanya memiliki 1 buah untuk digunakan secara bergantian di empat kamar mandi.

Sulteng Bergerak yang merupakan koalisi masyarakat sipil menyatakan keprihatinannya kepada korban gempa bumi, tsunami dan likuifaksi di Padagimo.

Adriansa Manu, Koordinator Sulteng Bergerak menyatakan pemerintah selama ini tidak pernah menunjukan keseriusannya atas kondisi korban yang selama ini hidup seperti sebatang kara.

“Kita tahu kewajiban perintah adalah memberikan pelayanan maksimal kepada korban bencana itu jelas diatur dalam undang-undang nomor 24 tahun 2019 tentang kebencanaan. Tapi yang terjadi saat ini di semua wilayah terkena bencana alam, pemerintah mengabaikan dan menelantarkan para korban.” Kata Adriansa

Ia, menegaskan bahwa pemerintah selama ini telah membuat korban bencana melarat. Indikasinya, menurut Adriansa adalah penelantaran korban yang masih tinggal di kamp-kamp pengungsian darurat termasuk mereka yang saat ini mengungsi di huntara.

Pemerintah kata Adriansa, selama ini tidak pernah mendengar keluhan korban. Padahal, para korban sudah sering kali melaporkan nasipnya kepada pemerintah baik kepada Pemda maupun kepada lembaga publik yang menangani korban bencana di Padagimo.

Selain itu kata Adriansa, status bencana di Sulawesi Tengah juga tidak jelas apakah statusnya Nasional atau Daerah. Tapi anehnya, seluruh keputusan terkait dengan penanggulangan bencana di Padagimo semua berada di Pusat. Sehingga ketika korban mengadu ke Pemda atau lembaga di bawanya, mereka selalu mendapati jawaban “kami bukan pengambil keputusan”.

“Akibat ketidak jelasan ini, para penyintas menjadi korban berkali-kali. Metafornya sudah jatuh, tertimpa tangga pula” Kata Adriansa

Menurut Adriansa, pemerintah pusat sebagai yang bertanggungjawab atas seluruh penanggulangan bencana di Padagimo harus segera merespon kondisi korban yang terkatung-katung di pengsungsian.

“Pemerintah pusat harus segera memulihkan ekonomi korban, jangan memanipulasi penderintaan mereka, seakan-akan korban baik-baik saja, padahal mereka sangat menderita”. Kata Adriansa

Ia, juga meminta kepada pemerintah pusat untuk transparan terhadap penggunaan anggaran yang diperuntukan untuk pemulihan bencana  di Padagimo.

“Pemerintah harus menyampaikan secara terbuka dan transparan berapa total pembiayaan pemulihan bencana yang sudah terpakai dan yang belum terpakai saat ini di Padagimo.” Katanya

Selama ini, kata Adriansa pemerintah tak perna memberikan laporan secara regular berapa anggaran yang sudah dihabiskan dalam pemulihan pasca bencana di Padagimo.

“Kita tidak perna tahu berapa sebenarnya anggaran yang diperuntukan untuk pembangunan huntara di Sulteng, progresnya pun kita tidak tahu. Begitu juga anggaran stimulan, pemerintah tidak perna memberikan rincian berapa anggaran yang ada dan sudah disalurkan, termasuk dana jadup dan santunan” Kata Adriansa

Selain itu, Adriansa juga mengkritik pemerintah daerah yang cenderung stagnan, tidak melakukan desakan progresif kepada pemerintah pusat.

“Pemerintah daerah kita ini sepertinya tidak berani menagih tanggungjawab pemerintah pusat sebagai yang memiliki wewenang dalam penanggulangan bencana di Padagimo. Mungkin ada, tapi tidak tegas. Harusnya pemda berani dong menagih tanggungjawab pemerintah pusat karena itu memang tugas mereka.” Kata Adriansa

Lanjut, Adriansa jika pemerintah daerah slow, maka sama halnya membiarkan penderitaan warganya. Katanya lagi, pemerintah daerah harus aktif mendesak pemerintah pusat agar benar-benar memperhatikan nasip para korban.

Selain itu, Adriansa juga berjanji akan terus memantau kasus yang menimpa korban tsunami yang menempati huntara di belakang terminal Induk Mamboro.

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*
*