Korban Gempa, Tsunami dan Likuifaksi di Sulawesi Tengah Terlantar
Palu-Koordinator Sulteng Bergerak, Adriansa Manu menganggap pemerintah menelantarkan korban gempa bumi, tsunami dan likuifaksi di Kota Palu, Sigi dan Donggala. Pasalnya, hingga kini masih terdapat 35.771 jiwa korban yang tinggal di pengungsian darurat dengan kondisi yang memprihatinkan. Sementara masih terdapat 25.986 korban tinggal secara individu dan 4.507 jiwa korban tinggal di rumah kerabat atau keluarga.
Ia, mengungkapkan slogan lebih cepat lebih baik ternyata hanya tong kosong nyaring bunyinya. Sebab janji pemerintah untuk segera memulihkan korban bencana di Padagimo jauh panggang dari api.
“Pemerintah pusat sebagai yang bertanggungjawab atas operasi penanggunggulangan bencana di Padagimo telah membuat korban terlantar.” Kata Adriansa
Menurut Adrian, sampai hari ini tidak ada upaya pemerintah pusat untuk menangani penderitaan korban yang masih tinggal di kamp-kamp pengungsian. Padahal, kata dia sudah banyak tenda-tenda di pengungsian darurat yang sudah tidak layak pakai.
Ia, menuturkan bahwa selama ini pemerintah mengetahui persis penderitaan korban di pengungsian darurat. Hanya saja kata Adrian, pemerintah tidak punya niat baik untuk memikirkan jalan keluar sehingga para korban segera menempati Huntara seperti yang mereka janjikan di masa-masa tanggap darurat.
“Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK) sendiri pernah berjanji kepada korban saat dia berkunjung ke Palu di bulan november 2018, katanya semua korban akan segera menempati Huntara pada desember 2018.” Tutur Adriansa
Namun, kata Adrian, janji JK itu sama sekali tidak sesuai harapan para penyintas di Padagimo. Justru menurut dia, angka korban yang belum menempati Huntara justru lebih besar dari mereka yang sudah tinggal di Huntara.
Selain itu, kata Adrian, pemerintah selama ini tidak punya solusi agar para korban segera memiliki pekerjaan. Selama ini menurutnya para korban mencari alternatif sendiri agar bisa bertahan hidup di pengungsian meski tak punya pekerjaan pasti.
“Para korban ini mayoritas tidak punya pekerjaan. Mereka bisa bertahan hidup sampai sekarang itu karena mereka cari sendiri, hampir tak ada bantuan dari pemerintah. Ada juga yang dapat bantuan, tapi jumlahnya kecil-kecil, lebih banyak yang tidak dapat bantuan.” Kata Adriansa
Ia, mengatakan korban tsunami di kampung Lere pernah mengadukan nasipnya ke posko Sulteng Bergerak. Katanya, para korban saat itu tidak tahu hendak mencari beras kemana, sehingga mereka memutuskan untuk mendatangi posko Sulteng Bergerak.
“Relawan kami pernah menerima dua orang ibu dari pengungsian Masjid Agung korban tsunami di kampung Lere. Mereka jalan kaki ke posko kami demi mendapatkan beras, karena mereka tidak tau mau kemana lagi agar bisa dapat beras.” Tutur Adriansa
Menurutnya, ketidak adaan pekerjaan itu membuat para korban sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi kata Adrian, sebagian pengungsi memiliki anak yang sedang sekolah.
“Dengan keadaan mereka yang tidak memiliki pekerjaan ini. Bisa dibayangkan begimana nasip anak-anak mereka nanti jika sewaktu-waktu orang tua mereka tak lagi mampu membiayai anaknya sekolah karena tak memiliki kepastian kerja.” Tutur Adriansa
Ia, mengatakan selama ini pemerintah seakan lepas tanggungjawab dalam pemulihan korban sampai mereka benar-benar pulih dari keterpurukan pasca bencana.
Menurutnya, pulih bukan hanya pembangunan infrastruktur, membangun fasos dan fasum tetapi pulih artinya para korban telah memiliki tempat tinggal yang nyaman, aman dan memiliki pekerjaan yang jelas.
Kata Adrian, bukan berarti pembangunan fisik yang dimaksud pemerintah itu tidak penting. Namun, katanya yang tidak kalah penting adalah memulihkan korban dari keterpurukan yang selama ini mereka alami pasca bencana.
“Para korban harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan untuk segera mendapatkan tempat tinggal yang layak termasuk pekerjaan yang jelas.” Kata Adriansa