Login

Lost your password?
Don't have an account? Sign Up

Sulteng Belum Miliki Kajian Resiko Bencana, Revisi RTRW Sebaiknya Dikaji Ulang

PIJARSULAWESI.com- Koordinator Sulteng Bergerak, Adriansa Manu mengatakan agar pemerintah mengkaji kembali Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tengah sebelum masuk pembahasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Tengah.

Sebab menurutnya, Provinsi Sulawesi Tengah belum memiliki Kajian Resiko Bencana (KRB) sebagai aspek penting dalam penentuan pemanfaatan ruang. “Pemprov Sulteng melalui Dinas Bina Marga mesti mengutamakan aspek kerentanan gempa bumi dan potensi bencana lainnya dalam tata ruang,” kata Adriansa melalui keterangan tertulis yang diterima PijarSulawesi.com, Selasa (4/2/2020).

Ia juga berharap agar Pemprov Sulteng membuat dokumen pengurangan resiko bencana (PRB) terlebih dulu, sebelum masuk pembahasan tata ruang di legislatif. PRB ini kata Adriansa harus diadaptasi dalam instrumen revisi tata ruang Provinsi Sulawesi Tengah. Sehingga Pemprov Sulteng ke depan mengetahui betul potensi bencana, kerugian, sumber daya dan resiko bencana di masa yang akan datang.

Dengan begitu kata Adriansa, Pemprov Sulteng memiliki kesiapsiagaan bencana sejak dini.
“Jadi tata ruang kita betul-betul berbasis mitigasi bencana, dengan PRB Pemprov sudah tahu apa yang harus mereka lakukan saat terjadi bencana, begitu pun warga sudah tahu apa yang harus disiapkan dan harus kemana ketika sewaktu-waktu terjadi bencana,” ujarnya.

Menurutnya revisi Tata Ruang yang disusun Dinas Bina Marga Provinsi Sulawesi Tengah belum berbasis mitigas bencana. “Meski dalam Ranperdanya telah menyebutkan mitigas bencana tetapi subtansinya tidak berbasis mitigas bencana,” ujarnya.

Menurut Adriansa mitigasi bencana harus komplit semua hal terkait dengan aktivitas pembangunan harus diatur berdasarkan kerentanan semua jenis bencana. Wilayah yang memiliki kerentanan bencana harus diatur sedemikian rupa berbasis pada mitigasi bencana. Bila perlu, semua wilayah yang memiliki kerentanan gempa bumi dan bencana ekologis dijadikan zona lindung.

Hal ini menurutnya, tidak menjadi prioritas dalam revisi Tata Ruang Provinsi Sulawesi Tengah. Justru kata Adriansa, paradigma revisi Tata Ruang Provinsi Sulawesi Tengah berpotensi menimbulkan bencana di masa mendatang.

Kata Adriansa, revisi RTRW Provinsi Sulawesi Tengah sangat bias investasi. Hal itu tercermin dari rencana pembangunan yang justru mengakomodir kepentingan pengerukan sumber daya alam. “Jika kita buka peta sebaran pertambangan besar dan perkebunan sawit di Sulawesi Tengah, hampir 60 persen daratan kita telah dikuasai dua konsesi ini,” kata Adriansa.

Sehingga, jika pemanfaatan ruang ini lebih mengutamakan investasi dari pada mitigasi bencana maka sejumlah kegiatan yang dicanangkan pemerintah akan menjadi ancaman besar bagi penduduk Sulteng ke depan. Sebab, Sulteng merupakan salah satu daerah yang berada dalam lingkaran ring of fire. Dimana menurut Adriansa, fenomena alam seperti gempa bumi dan letusan gunung merapi di Pulau Una-una sudah pasti akan terus ada.

“Jadi, lagi-lagi kami tegaskan agar pemerintah betul-betul menjadikan mitigasi bencana sebagai aspek utama dalam rencana tata ruang kita ke depan. Sudah cukup lah pengalaman kita, sudah puluhan tahun kita diingatkan para ahli dibidang geologi jangan lagi mengulang kesalahan yang sama,” tegasnya.

Pelanggaran Ruang Kota Palu

Selain itu kata Adriansa, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) pada September 2019 telah menginformasikan hasil audit pelanggaran ruang yang terjadi di Kota Palu dan Kabupaten Donggala. Menurutnya, berdasarkan hasil audit Kementerian ATR/BPN potensi kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahan pemanfaatan ruang di Kota Palu mencapai Rp615.973.705.658.879.000. “Ini hanya aspek pelanggaran kawasan perkotaan Palu saja, belum pelanggaran ruang lainya,” kata Adriansa

Jika diurai kata Adriansa, masih banyak kerugian yang diakibatkan kesalahaan peruntukan ruang di kota Palu. Salah satu yang fantastis menurutnya adalah pelanggaran kegiatan perdagangan-jasa dan pemukiman pada wilayah peruntukan ruang terbuka hijau (RTH), pemakaman umum dan hutan kota. Adriansa menyebut bahwa kerugian yang ditimbulkan pada kegiatan ini berdasarkan hasil audit ATR/BPN mencapai Rp126.897.268.465.310.

Sementara di Kabupaten Donggala, kata Adriansa kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahan pemanfaatan ruang kawasan perkotaan mencapai Rp135.383. 774.933.381

“Hasil audit Kemtentrian ATR/BPN ini harus menjadi landasan dalam penataan ruang pada revisi RTRW terutama di Kota Palu dan Donggala.” Kata Adriansa

Menurutnya, Kemeterian ATR/BPN sebenarnya telah merekomendasikan untuk memberikan sanksi hukum pelanggaran ruang sesuai kerugian yang ditimbulkan termasuk menghentikan kegiatan pertambangan yang tidak berizin.

Selain itu, kata Adriansa Kementerian ATR/BPN juga telah merekomendasikan agar mempertimbangkan hasil analisa daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam revisi RTRW dan pengenaan disentif bagi kegiatan pertambangan serta memberikan kompensasi terhadap lingkungan sekitar, termasuk merehabilitasi lingkungan terdampak.

Sehingga kata Adriansa, revisi RTRW harus betul-betul mempertimbangkan semua aspek terutama mitigasi bencana.
“Pemerintah harus serius mengurusi tata ruang yang betul-betul kepentingannya untuk perlindungan warga dari ancaman bencana,” ujarnya.

“Ini hanya soal kemauan politik, jika pemerintah kita betul-betul memiliki interest terhadap perlindungan, maka paradigma revisi tata ruang kita tentu akan mengutamakan aspek keselamatan seluruh warganya,” tambahnya. **/MAL

Sumber : pijarsulawesi.com

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*
*